Fahrus Zaman Fadhly

Ferdinand, Teks Terstruktur dan Teror Teologis

Kolom Terkini

Oleh : Fahrus Zaman Fadhly *

Secara langsung, pernah bertemu. Sempat ngobrol sekilas dan selfie bareng. Ya, sekali itu saja. Bertemu, berkelakar dan guyon ala aktifis. Kurang lebih 3 tahun lalu. Persisnya pada 31 Oktober 2018 di Gedung Naskah Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.

Saat itu, ia bersama Rachlan Nashidik, Andi Arif, Agus Harimurti Yudoyono (AHY) dan Ani Yudoyono. Mereka mendampingi mantan Presiden SBY bertemu dengan 100 tokoh dan para kader Partai Demokrat di kota ‘peuyeum” itu.

Tapi, ini bukan soal Partai Demokrat. Karena ia sudah keluar dari partai besutan SBY itu. Konon, akan masuk ke salah satu partai politik yang memperjuangkan NKRI dan Pancasila secara konsisten. Niatnya, tampak mulia. ”Demokrat terlalu berbau politik identitas” kritiknya.

Ia juga tak setuju dengan Partai Demokrat yang menentang UU Cipta Kerja. Uneg-unegnya itu ia sampaikan dalam channel youtube Akbar Faizal Uncensored. Itulah alasannya hengkang. “Atau Anda dapat tawaran jadi komisaris?” tanya Akbar Faizal. “Saya ditawari dan saya tolak,” tukasnya.

Sejak keluar dari Partai Demokrat, justru makin di luar kendali. Kata bule, out of control. Laku dan ocehannya kian destruktif. Provokasinya menciptakan teror: teror teologis. Ekspresinya merusak harmoni. Lisannya membakar. Ucapannya impulsif. Pikirannya pandir. Hatinya gelap. Mulutnya berapi: membakar! Matanya rabun. Inteleknya minus.

Ferdinand Hutahaean, 44 tahun. Lelaki setengah baya yang fenomenal. Membuat gaduh. Entah spontan, entah by design. Tuitannya di twitter mengundang reaksi. Tuitannya telah masuk ke ranah teologi yang amat sensitif. Masuk ke jantung keyakinan penganut Muslim: mayoritas bangsa ini. Ia menyerang. Acting without forethought. Pendeknya, tuitannya tak melalui proses berfikir panjang. Untuk tidak mengatakan—“tak pakai otak”. Spontan dan tuna cerdas.

Tuitan di twitter lengkapnya begini: “Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah, harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, Dialah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela.” Saya mencoba mencari konteksnya, mengapa ia memproduksi teks yang beraroma anti Pancasila dan anti kebhinnekaan. Tak diketemukan. Yang ada: multi-konteks yang sambung-menyambung. Kesimpulan saya: tuitannya adalah akumulasi dari kegundahan dia dari berbagai konteks yang baginya bertentangan dengan “keyakinannya”, Eh… maaf, dengan misi politiknya.

Ia tak sadar, sedang tuit tidak di ruang hampa. Menghina Allah, Tuhan mayoritas bangsa ini sama saja dengan menyulut permusuhan kolektif. Menebar kebencian. Merusak integrasi bangsa. Mengguncang stabilitas politik. Melecehkan Pancasila. Merusak kebhinnekaan. Menggoyahkan sendi-sendi bernegara. Meluluhlantahkan taman indah ke-Indonesiaan. Figur yang memecah-belah tak layak jadi figur khalayak. Dengan tuitannya yang membakar itu, saya ragu di dadanya masih ada NKRI dan Pancasila.

Tuitannya manifestasi kebencian teologis yang akut. Bahkan, salah kaprah. Terlihat ia tak cukup literat dengan agama yang dianutnya. Sepertinya, ia tak tuntas baca Injil, Taurat apalagi Al-Qur’an. Menangggapi tuitannya, Pendeta Gilbert Lumoindong mengatakan: “Allah itu esa, maka membanding-bandingkan Allahmu dan Allahku itu jelas tidak sesuai dengan ajaran Kristiani. ………….itu yang pasti bukan suara dari umat Kristiani.”

Klarifikasi Gilbert itu makin meyakinkan kita, Ferdinand tak paham sejarah teologi Kristiani yang memiliki pertalian historis dan teologis dengan Islam, sebagai sesama agama Ibrahim (abrahamic religions). Yahudi, Nasrani dan Islam mengajarkan monoteistik, yang percaya dan mengakui hanya satu Tuhan: Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Ia tak paham, para nabi penyeru ajaran monoteistik itu memiliki satu garis keturunan dari Nabi Ibrahim. Baik Musa, Daud, Isa dan Muhammad adalah keturunan Nabi Ibrahim. Sehingga tiga agama besar: Yahudi, Nasrani dan Islam kerap disebut dengan agama Ibrahim. Tuhannya sama: Allah swt, sang maha pencipta (the creator), sang maha tahu (the omniscient), sang maha hadir (the omnipresent), sang maha kuasa (the almighty), dan raja jagat raya (the king of the universe).

MUI sudah jelas sikapnya: tuitannya telah memenuhi unsur penistaan agama dan layak dibawa ke ranah hukum. Di hadapan penyidik, ia mengaku muallaf dan memiliki penyakit yang membuat kesadarannya menghilang. Ini hanya modus saja agar bisa lepas dari jeratan hukum. Dari struktur bahasanya yang “kohesif dan koheren”, tuitannya dilakukannya dalam posisi sadar. Teks yang terstruktur dengan baik, pasti diproduksi dalam keadaan sadar.***

*Penulis adalah Staf Pengajar FKIP Universitas Kuningan dan saat ini dipercaya sebagai Sekretaris Umum Majelis Wilayah KAHMI Jawa Barat

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *