JAKARTA, TERKINI.COM- CEO Creative Center Indonesia (CCI) Uti Rahardjo mengatakan, berusaha untuk tangguh (resilience) menjadi kunci keberhasilan bisnis kreatif di tengah pandemi COVID-19.
”Sikap maju tak gentar ini kemudian diserap oleh armada kami sehingga nilai yang terbangun sejak awal di ‘Creative Center’ adalah ketangguhan,” kata Uti Rahardjo dalam peluncuran buku “Kreatif Berbisnis Kreatif-21 Tahun Merawat Bisnis Kreatif” di Jakarta, Sabtu seperti dikutip dari Antara.
Ketangguhan menjadi satu kekuatan yang membuat “Creative Center” bisa bertahan hingga lebih dari 20 tahun. Istilah yang sekarang populer adalah GRIT (Guts, Resilience, Initiative, dan Tenacity) yang berarti memiliki nyali, tahan banting, penuh inisiatif dan persisten.
Sebagai praktisi di bidang periklanan, Uti telah berhasil menangani sejumlah klien di berbagai bidang di tengah pandemi meski harus melaksanakan pekerjaan dari rumah.
Peraih “Entrepreneurial Winning Women 2011” dari Ernst&Young dan penerima Anugerah Perempuan Indonesia (API) tahun 2012 dari “Woman Review Magazine” ini selama 21 tahun berkarir di CCI selalu melakukan pekerjaannya dari rumah.
Namun dia bersyukur telah mampu beradaptasi dalam situasi rumah yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan bekerja di kantor.
Dia menghadapi tantangan yang sangat bertubi-tubi, termasuk di masa pandemi di saat banyak sektor usaha menghadapi banyak kesulitan.
“Begitu juga dengan kami, harus menghadapi tantangan yang dikhawatirkan dapat merontokkan kinerja yang sudah dibangun selama bertahun-tahun,” kata Uti.
Itu sebabnya diperlukan kreativitas yang tinggi untuk bisa bertahan dengan membangun tim yang solid, mengatur arus kas perusahaan yang ketat serta mempertahankan konsumen atau klien agar bisa terus beradaptasi sehingga tetap dapat menghasilkan “revenue” yang signifikan.
“Kami telah melampaui masa pasang-surut yang memperkaya hidup dengan pengalaman yang tidak ternilai harganya,” ujarnya.
Salah satu buktinya, kendati mengaku sebagai bagian dari generasi digital-analog, namun Uti dan timnya yang juga didukung oleh mereka yang mulai memahami ranah digital dengan sejumlah aplikasinya, dapat membuktikan.
“Ternyata bisa bertahan di tengah situasi yang sangat kompetitif, dengan kemampuan anak muda dengan digital ‘mindset’- nya,” katanya.
Memiliki jiwa yang rendah hati sebagai warisan budaya dari para leluhurnya, Uti mengatakan bahwa menjalankan bisnis itu bukan merancang sesuatu secara sempurna, melainkan mengalir saja sebagai suatu proses.
“‘Business is not sains, not art, but practice’,“ demikian praktisi bisnis kreatif yang ingin membagikan pengalamannya dalam berbisnis kepada para generasi milenial melalui tulisan buku karyanya ini.
Dalam derap waktu, Uti merasa menjadi generasi yang beruntung, menyaksikan dan memegang kendali bisnis melampaui masa di tahun 2000 saat peran internet, komputer serta teknologi digital belum secanggih seperti saat ini.
”Dengan modal pernah bekerja di berbagai perusahaan iklan selama lebih dari 10 tahun itu, saya memulai mendirikan perusahaan sendiri setelah menang penawaran tender salah satu perusahaan perbankan asing di Indonesia,” ujarnya.
Mengaku banyak didukung sejumlah sahabatnya, Uti memiliki “asset knowledge” yang cukup berharga, sampai para klien menaruh kepercayaan (trust) yang besar sehingga kerja sama dengan mereka bisa berlangsung sampai bertahun-tahun.
Pencinta batik yang gemar bermain piano ini mengatakan untuk menjawab kebutuhan pasar bahkan perusahaan, harus membentuk satuan tugas khusus yang sangat taktis guna menjawab kebutuhan pasar.
“Dengan orientasi melayani (served) pada permintaan pasar yang sangat ketat, maka tim kami terlatih dengan tetap bekerja secara profesional,” kata Uti.
“Kuncinya adalah ‘tidak pernah mengatakan tidak bisa’ kepada klien, karena pada dasarnya kita tidak pernah tahu, mana yang benar-benar kita tidak bisa lakukan sebelum kita mencoba,” katanya memberikan resep (Ant/JT)